LAPORAN PENDAHULUAN PRAKTIK PROFESI
KEPERAWATAN
MEDIKAL BEDAH
PROGRAM
STUDI ILMU KEPERAWATAN
I.
Diagnosa
Medik
Stroke.
II.
Definisi
Stroke
adalah suatu sindroma yang mempunyai karakteristik suatu serangan yang
mendadak, nonkonvulsif yang disebabkan karena gangguan peredaran darah otak non
traumatik (Tarwoto, 2007).
Stroke
adalah kehilangan fungsi otak secara mendadak yang diakibatkan oleh gangguan
suplai darah ke bagian otak (Smeltzer & Bare, 2002).
Stroke
adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak progresi cepat, berupa
defisit neurologis fokal da/atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih
atau langsung menimbulkan kematian dan semata-mata disebabkan oleh gangguan
peredaran darah otak non traumatik (Mansjoer, 2001).
III. Etiologi
1. Trombosis (bekuan darah didalam pembuluh darah
otak).
2. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang
dibawa keotak dari bagian tubuh yang lain)
3. Iskemia (menurunnya aliran darah kearah otak).
4. Hemoragi serebral (pecahnya pembuluh darah serebral
dengan pendarahan kedalam jaringan otak atau ruang sekitar otak).
(Smeltzer & Bare, 2002)
Faktor resiko stroke:
1. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol
a. Usia. Makin bertambah usia resiko stroke
makin tinggi, hal ini berkaitan dengan elastisitas pembuluh darah.
b. Jenis kelamin. Laki-laki mempunyai
kecendrungan lebih tinggi.
c. Keturunan. Adanya riwayat keluarga yang
terkena stroke.
2. Faktor resiko yang dapat dikontrol
a. Hipertensi. Hipertensi menyebabkan
aterosklerosis pembuluh darah serebral sehingga lama-kelamaan akan pecah dan
menimbulkan perdarahan.
b. Diabetes Mellitus. Pada penyakit DM
terjadi gangguan vaskuler, sehingga terjadi hambatan dalam aliran darah ke
otak.
c. Peningkatan kolesterol. Kolesterol dalam
tubuh menyebabkan aterosklerosis dan terbentuknya lemak sehingga aliran darah
lambat.
d. Obesitas. Pada obesitas kadar kolesterol
darah meningkat dan terjadi hipertensi.
e. Merokok dan alkohol. Rokok dapat
menimbulkan plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga terjadi
aterosklerosis. Pada
alkoholik dapat mengalami hipertensi, penurunan darah ke otak dan kardiak
aritmia.
f. Penyakit jantung. Fibrilasi atrium
menyebabkan penurunan kardiac output, sehingga terjadi gangguan perfusi
serebral.
g. Polisitemia. Kadar Hb yang tinggi (Hb
lebih dari 16 mg/dl) menyebabkan darah menjadi lebih kental dengan demikian
aliran darah ke otak lebih lambat.
(Mansjoer, 2001; Smeltzer & Bare, 2002; Tarwoto, 2007)
IV. Klasifikasi
1.
Berdasarkan klinik
a.
Stroke Hemoragik (SH)
Terjadi
perdarahan serebral dan mungkin juga perdarahan subaraknoid yang disebabkan
pecahnya pembuluh darah otak. Biasanya terjadi pada saat pasien melakukan
aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat, kesadaran
pasien umunya menurun.
Pada
stroke hemoragik, pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah yang
normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya. Hampir
70% kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita hipertensi.
Menurut
WHO, dalam International Statistical Classification Of Disease and Related Health Problem
10th Revision, stroke hemoragik dibagi atas:
1) Perdarahan Intraserebral (PIS)
PIS adalah
perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan
bukan oleh trauma. PIS secara klinik dibagi atas:
a) Akut, dengan cepat memburuk dalam 24 jam.
b) Subakut, dengan krisi terjadi antara 3 dan
7 hari.
c) Subkronis, bila krisinya 7 hari.
Penyebab
PIS terbanyak karena hipertensi, dan faktor lainnya dalah aneurisma
kriptogenik, diskrasia darah, hemophilia, leukemia, trombositopenia, pemakaian
antikoagulan dalam jangka lama, malformasi arteriolavenosa dan tumor otak.
2) Perdarahan subaraknoid (PSA)
PSA adalah
keadaan terdapatnya atau masuknya darah keruangan subaraknoid. PSA dibagi atas:
a) PSA spontan primer, bukan karena trauma
atau PIS.
b) PSA sekunder, adalah perdarahan yang
berasal dari luar subaraknoid misalnnya dari PIS dan tumor otak.
b.
Stroke non
hemoragik (SNH)
Dapat berupa iskemia, emboli, spasme
ataupun trombus pembuluh darah otak. Umumnya
terjadi setelah beristirahat cukup lama atau bangun tidur. Tidak terjadi
perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena
hipoksia jaringan otak. Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti
karena aterosklerosis atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh
darah.
(Muttaqin, 2008)
2.
Berdasarkan perjalanan penyakit
a.
TIA (transient iskemik attack)
Merupakan gangguan neurologi fokal yang timbul secara
tiba-tiba dan menghilang dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Gejala yang
muncul akan hilang secara spontan dalam waktu kurang dari 24 jam.
b.
Stroke involution (progresif)
Perkembangan stroke terjadi perlahan-lahan sampai
akut, munculnya gejala mungkin memburuk. Proses progresif beberapa jam sampai
beberapa hari.
c.
Stroke complete (stroke lengkap)
Gangguan neurologik yang timbul sedah menetap atau
permanen, maksimal sejak awal serangan dan sedikit memperlihatkan perbaikan.
(Tarwoto,
2007)
V.
Patofisiologi
Iskemia
disebabkan oleh adanya penyumbatan aliran darah otak oleh trombus atau embolus.
Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya aterosklerosis pada dinding
pembuluh darah, sehingga arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area
thrombus menjadi berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi kompleks
iskemia akhirnya terjadi infark pada jaringan otak. Emboli disebabkan oleh
embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri karotis. Terjadinya
blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba berkembang cepat
dan terjadi gangguan neurologist fokal. Perdarahan otak dapat ddisebabkan oleh
pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.
Pembuluh
darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau ruangan
subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intracranial yang seharusnya
konstan. Adanya perubahan komponen intracranial yang tidak dapat dikompensasi
tubuh akan menimbulkan peningkatan TIK yang bila berlanjut akan menyebabkan
herniasi otak sehingga timbul kematian. Di samping itu, darah yang mengalir ke
substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh
darah otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah
berkurang atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.
(Smeltzer & Bare, 2002)
VI.
Manifestasi
Klinis
1. Stroke
Non Hemoragik
a. Defisit neurologis secara mendadak/
sub akut.
b. Terjadinya pada waktu istirahat/
bangun pagi.
c. Kesadaran tidak menurun, tetapi bila
emboli cukup besar dapat menurunkan kesadaran.
d. Biasanya terjadi pada usia > 50 tahun.
2. Stroke
Hemoragik
a.
Perdarahan intraserebral (PIS)
1) Nyeri
kepala karena hipertensi, hebat sekali.
2) Sering
kali siang hari, saat aktivitas, emosi / marah.
3) Mual,
muntah permulaan serangan.
4) Hemiparesis/ hemiplegi terjadi sejak permulaan
serangan.
5) Kesadaran
menurun, cepat koma.
b. Perdarahan
subaraknoid (PSA)
1) Nyeri
kepala hebat dan akut.
2) Kesadaran sering terganggu dan sangat
bervariasi.
3) Ada gejala tanda ransangan meningeal.
4) Edema
papil
Manifestasi
klinis stroke akut :
1.
Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah
(hemiparesis) yang timbul mendadak.
2. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota
badan.
3. Penurunan kesadaran (konfusi,
delirium, letargi, stupor atau koma).
4. Afasia (kesulitan dalam bicara).
5. Disatria (bicara pelo atau cadel)
6.
Gangguan penglihatan (hemianopia/ monokuler) diplopia
7.
Ataksia.
8.
Vertigo, mual, muntah dan nyeri kepala
(Muttaqin,
2008; Tarwoto, 2007)
VII. Komplikasi
1. Hipoksia
serebral
2. Perubahan
aliran darah serebral
3. Embolisme
serebral
(Smeltzer & Bare, 2002)
VIII. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
a. Kesadaran: umumnya mengalami penurunan
kesadaran.
b. Bicara: kadang mengalami gangguan yaitu
sulit dimengerti, kadang tidak bisa bicara.
c. Tanda-tanda vital: tekanan darah
meningkat, denyut nadi bervariasi.
2. Pemeriksaan integumen
a. Kulit: jika klien kekurangan oksigen kulit
akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan jelek. Di
samping itu perlu juga di kaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang
menonjol.
b. Kuku: perlu dilihat adanya clubbing
finger, sianosis.
3. Pemeriksaan kepala dan leher
a. Kepala: bentuk normocephalik
b. Muka: umunya tidak simetris yaitu miring
ke salah satu sisi.
c. Leher: kaku kuduk jarang terjadi.
4. Pemeriksaan dada
Pada
pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi, wheezing ataupun
suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat penurunan reflek batuk
dan menelan.
5. Pemeriksaan abdomen
Didapatkan
penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan kadang terdapat
kembung.
6. Pemeriksaan ektremitas: sering didapatkan
kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
7. Pemeriksaan neurologi
a. Pemeriksaan nervus cranialis: umunya
terdapat gangguan nervus cranialis VII dan XII.
b. Pemeriksaan motorik: hampir selalu terjadi
kelumpuhan atau kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
c. Pemeriksaan sensorik : dapat terjadi
kehilangan sensasi
d. Pemeriksaan refleks: pada fase akut
refleks fisiologi sisi yang lumpuh akan menghilang.
8. Pemeriksaan fungsi bladder dan bowel:
dapat terjadi inkontinensia atau retensio urine
(Tarwoto, 2007)
IX. Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik
1.
Angiografi
serebral: Membantu menentukan penyebab
stroke secara spesifik seperti
perdarahan, obstruksi arteri atau adanya titik okslusi/ ruptur.
2.
CT
Scan: memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia dan infark
3.
Fungsi
lumbal: Menunjukkan adanya tekanan
normal, trombosis, embolis serebral dan TIA, jika protein meningkat adanya
proses inflamasi
4.
MRI:
menunjukkan adanya infark, hemoragik, malformasi arterio vena (MAV)
5.
Utrasonografi
Doppler: Mengidentifikasi penyakit arteriovena, aliran darah atau muncul plak
(ateriosklerosis).
6.
EEG: Mengidentifikasi masalah didasarkan pada
gelombang otak dan mungkin adanya lesi yang spesifik
7.
Sinar
X tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjer lempeng peneal daerah yang
berlawan dari massa yang luas.
(Doenges, 1999)
X.
Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan umum
a. Pada fase akut (48-72 jam)
1) Pertahankan jalan nafas, pemberian
oksigen, penggunaan ventilator.
2) Monitor peningkatan tekanan intrakranial.
3) Monitor fungsi pernafasan: AGD
4) Monitor jantung dan tanda-tanda vital,
pemeriksaan EKG.
5) Evaluasi status cairan dan elektrolit.
6) Kontrol kejang jika ada dengan pemberian
antikonvulsan dan cegah resiko injuri.
7) Lakukan pemasangan NGT untuk mengurangi
kompresi lambung dan pemberian makanan.
8) Cegah emboli paru dan tromboplebitis
dengan antikoagulan.
9) Monitor tanda-tanda neurologi seperti
tingkat kesadaran, keadaan pupil, fungsi sensorik dan motorik, nervus kranial
dan refleks.
b. Fase rehabilitasi
1) Pertahankan nutrisi yang adekuat.
2) Program managemen bladder dan bowel.
3) Mempertahankan keseimbangan tubuh dan
rentang gerak sendi (ROM).
4) Pertahankan integritas kulit.
5) Pertahankan komunikasi yang efektif.
6) Pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
7) Persiapan pasien pulang.
2. Pembedahan
Dilakukan jika perdarahan
serebrum diameter lebih dari 3 cm atau volume lebih dari 50 ml untuk dekompresi
atau pemasangan pintasan ventrikulo-peritoneal bila ada hidrosefalus obstruksi
akut.
3. Terapi obat-obatan
a. Stroke non hemoragik
1) Pemberian trombolisis dengan rt-PA
(recombinant tissue-plasminogen).
2) Pemberian obat-obatan jantung seperti
digoksin pada aritmia jantung atau alfa beta, katopril, antagonis kalsium pada
pasien dengan hipertensi.
b. Stroke hemoragik
1) Antihipertensi: katopril, antagonis
kalsium.
2) Diuretik: Manitol 20%, furosemid.
3) Antikonvulsan: Fenitoin.
(Tarwoto, 2007)
XI. Pengkajian
1. Aktifitas/ Istirahat
Gejala : Merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas
karena kelemahan, kehilangan sensasi atau paralisis.
Merasa mudah lelah, susah untuk beristirahat
(nyeri/kejang otot)
Tanda : Gangguan tonus otot dan terjadi kelemahan umum
Gangguan penglihatan.
Gangguan tingkat
kesadaran.
2.
Sirkulasi
Gejala : Adanya penyakit jantung, polisitemia
Tanda : Hipertensi arterial sehubungan dengan adanya
embolisme atau malfomasi vaskuler.
Nadi: frekuensi
bervariasi
Disritmia, perubahan
EKG
Desiran pada karotis,
femoralis yang abnormal.
3.
Integritas Ego
Gejala :
Perasaan tidakberdaya, perasaan putus
asa.
Tanda :
Emosi yang labil dan kesulitan untuk
mengekspresikan diri.
4.
Makanan/ cairan
Gejala : Nafsu makan hilang.
Mual
muntah selama fase akut.
Kehilangan
sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi, tenggorok, disfagia.
Tanda : Kesulitan menelan
5.
Neurosensori
Gejala : Sinkope/ pusing
Sakit
kepala
Kelemahan/
kesemutan/ kebas
Hilangnya
rangsang sensorik kontralateral (pada sisi yang berlawanan) pada ekstremitas
dan kadang-kadang pada wajah.
Tanda :
Status mental/ tingkat kesadaran:
biasanya terjadi koma pada fase awal hemoragik, kelemahan pada ektremitas,
gangguan fungsi kognitif
Pada
wajah terjadi paralysis
Afasia
Kehilangan
kemampuan untuk menggunakan motorik
Kejang
6.
Nyeri/ Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda.
Tanda : Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah
7. Pernafasan
Gejala : Merokok
Tanda : Ketidakmampuan menelan/
batuk/ hambatan jalan nafas.
Suara nafas terdengar/
ronkhi
Timbulnya pernafasan
sulit.
(Doenges, 1999)
XII. Diagnosa dan Intervensi
1. Gangguan perfusi jaringan serebral
berhubungan dengan gangguan aliran darah, oklusi, hemoragi, vasospasme
serebral, edema serebral.
Tujuan: Setelah dilakukan
tindakan keperawatan diharapkan perfusi jaringan serebral kembali normal.
Intervensi:
a. Kaji status neurologik.
Rasional: Menentukan perubahan
defisit neurologik lebih lanjut.
b. Kaji tingkat kesadaran dengan GCS.
Rasional: Tingkat kesadaran
merupakan indikator terbaik adanya perubahan neurologis.
c. Kaji pupil, ukuran, respon terhadap
cahaya, gerakan mata.
Rasional: Mengetahui fungsi
nervus II dan III.
d. Kaji refleks kornea dan refleks gag.
Rasional: Menurunnya refleks
kornea dan refleks gaga indikasi kerusakan pada batang otak.
e. Evaluasi keadaan motorik dan sensori
pasien.
Rasional: Gangguan motorik dan
sensorik dapat terjadi akibat edema otak.
f. Monitor tanda vital setiap 1 jam.
Rasional: Adanya
perubahan tanda vital seperti respirasi dan bradikardia menunjukkan kerusakan
pada batang otak.
g. Pertahankan pasien bedrest, berikan lingkungan tenang, batasi
pengunjung, atur waktu istirahat dan aktivitas.
Rasional: Istirahat yang cukup
dan lingkungan yang tenang mencegah perdaharan kembali.
h. Pertahankan kepala tempat tidur 30-45
derajat dengan posisi leher tidak menekuk.
Rasional: Memfasilitasi
drainase vena dari otak.
i.
Anjurkan
pasien untuk tidak mengedan saat defikasi, batuk dan bersin yang kuat.
Rasional: Dapat meningkatkan
tekanan intrakranial.
j.
Pertahankan
suhu normal.
Rasional: Suhu tubuh yang
meningkat akan meningkatkan aliran darah ke otak sehingga meningkatkan TIK.
k. Monitor kejang dan berikan obat anti
kejang.
Rasional: Kejang dapat terjadi
akibat iritasi serebral dan keadaan kejang memerlukan banyak oksigen.
l.
Lakukan
aktivitas seminimal mungkin.
Rasional: Menimbulkan stimulus
sehingga menurunkan TIK.
m. Berikan obat sesuai program dan monitor
efek samping.
Rasional: Memperbaiki kondisi.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler, kelemahan, parestesia,
paralysis.
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan
diharapkan gangguan mobilitas fisik dapat teratasi.
Intervensi:
a. Kaji kemampuan motorik.
Rasional: Mengidentifikasi kekuatan otot, kelemahan
motorik
b. Ajarkan pasien untuk melakukan ROM minimal
4 kali/hari.
Rasional: Latihan ROM
meningkatkan masa tonus, kekuatan otot, fungsi jantung dan pernapasan.
c. Lakukan tindakan untuk meluruskan postur
tubuh: ubah posisi sendi bahu setiap 2-4 jam, gunakan papan kaki, sanggah
tangan dan pergelangan tangan pada kelurusan alamiah.
Rasional: Mencegah kontraktur
fleksi bahu, mencegah footdrop, mencegah edema dan kotraktur fleksi pada
pergelangan.
d. Observasi daerah yang tertekan, termasuk
warna, edema, atau tanda lain gangguan sirkulasi.
Rasional: Mencegah luka
dekubitus.
e. Lakukan mesase pada daerah tertekan.
Rasional: Membantu
memperlancar sirkulasi darah.
f. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi.
Rasional: Mengembangkan
program khusus.
3. Gangguan perawatan diri: ADL berhubungan dengan defisit neuromuskuler, menurunnya kekuatan otot
dan daya tahan, kehilangan kontrol otot, gangguan kognitif.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan perawatan diri dapat
terpenuhi
Intervensi:
a. Kaji kemampuan ADL pasien.
Rasional: Membantu merencakan
intervensi.
b. Anjurkan pasien untuk melakukan sendiri
perawatan dirinya jika mampu.
Rasional: Menumbuhkan
kemandirian dalam perawatan.
c. Berikan umpan balik positif atas usaha
pasien.
Rasional: Meningkatkan harga
diri pasien.
d. Bantu klien dalam pemenuhan kebutuhan ADL
jika tidak mampu.
Rasional: Memenuhi kebutuhan
ADL.
e. Kolaborasi ahli fisioterapi.
Rasional: Mengembangkan
program khusus.
4. Kerusakan komunikasi verbal atau non
verbal berhubungan dengan gangguan sirkulasi, gangguan neuromuskuler,
kelemahan umum, kerusakan pada area wernick, kerusakan pada area broca.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan komunikasi verbal
atau non verbal dapat diatasi.
Intervensi:
a. Kaji tipe/derajat disfungsi.
Rasional: Membantu menentukan
daerah dan derajat kerusakan serebral yang terjadi.
b. Bedakan antara afasia dan disartria.
Rasional: Intervensi yang
dipilih tergantung pada tipe kerusakannya. Afasia adalah gangguan dalam
menggunakan dan menginterpretasikan simbol bahasa. Seseorang dengan disartria
mengalami kesulitan membentuk atau mengucapkan kata.
c. Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan
berikan umpan balik.
Rasional: Pasien mungkin
kehilangan kemampuan untuk memantau ucapan yang keluar dan tidak menyadari
bahwa komunikasi yang diucapkannya tidak nyata.
d. Mintalah pasien untuk mengikuti perintah
sederhana (seperti: buka mata dan tunjuk ke pintu) ulangi dengan kata/kalimat
sederhana.
Rasional: Melakukan penilaian
terhadap adanya kerusakan sensorik (afasia sensorik).
e. Tunjukkan objek dan minta pasien untuk
menyebutkan nama benda tersebut.
Rasional: Melakukan penilaian
terhadap adanya kerusakan motorik (afasia motorik), seperti pasien mungkin
mengenalinya tetapi tidak dapat menyebutkannya.
f. Minta pasien untuk mengucapkan suara sederhana
seperti ”sh” atau ”pus”.
Rasional: Mengidentifikasi
adanya disartria sesuai komponen motorik dari bicara (seperti lidah, gerakan
bibir, kontrol napas).
g. Minta pasien untuk menulis nama/kalimat
pendek, dan membaca kalimat pendek.
Rasional: Menilai kemampuan
menulis (agrafia) dan kekurangan dalam
membaca yang benar (aleksia) yang juga merupakan bagian dari afasia sensorik
dan afasia motorik.
h. Anjurkan pengunjung/keluarga terdekat
mempertahankan usaha untuk berkomunikasi dengan pasien.
Rasional: Mengurangi isolasi
sosial pasien dan meningkatkan penciptaan komunikasi yang efektif.
i.
Diskusikan
mengenai hal-hal yang dikenal pasien.
Rasional: Meningkatkan
percakapan yang bermakna dan memberikan kesempatan untuk keterampilan praktis.
(Doenges, 1999; Tarwoto, 2007)
XIII.
Daftar
Pustaka
Doenges, M. E. (1999). Rencana asuhan
keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien
(Monica Ester, et.al. Terj). Jakarta:
EGC. (Naskah asli dipublikasikan tahun 1993).
Mansjoer, A. (2001). Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapies.
Muttaqin, A. (2008). Pengantar asuhan
keperawatan klien dengan gangguan sistem persarafan. Jakarta: Salemba
Media.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah Brunner &
Suddarth (Monica
Ester, et.al. Terj). Jakarta:
EGC. (Naskah asli dipublikasikan tahun 1996).
Tarwoto (2007). Keperawatan medikal
bedah: gangguan sistem persarafan.
Jakarta: Sagung seto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar