Jumat, 05 Oktober 2012

Stroke.


LAPORAN PENDAHULUAN PRAKTIK PROFESI
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

I.             Diagnosa Medik
Stroke.

II.          Definisi
Stroke adalah suatu sindroma yang mempunyai karakteristik suatu serangan yang mendadak, nonkonvulsif yang disebabkan karena gangguan peredaran darah otak non traumatik (Tarwoto, 2007).

Stroke adalah kehilangan fungsi otak secara mendadak yang diakibatkan oleh gangguan suplai darah ke bagian otak (Smeltzer & Bare, 2002).
Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak progresi cepat, berupa defisit neurologis fokal da/atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian dan semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik (Mansjoer, 2001).

III.       Etiologi
1.      Trombosis (bekuan darah didalam pembuluh darah otak).
2.      Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa keotak dari bagian tubuh yang lain)
3.      Iskemia (menurunnya aliran darah kearah otak).
4.      Hemoragi serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan pendarahan kedalam jaringan otak atau ruang sekitar otak).
                                                                                                                                   (Smeltzer & Bare, 2002)
Faktor resiko stroke:
1.      Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol
a.       Usia. Makin bertambah usia resiko stroke makin tinggi, hal ini berkaitan dengan elastisitas pembuluh darah.
b.      Jenis kelamin. Laki-laki mempunyai kecendrungan lebih tinggi.
c.       Keturunan. Adanya riwayat keluarga yang terkena stroke.
2.      Faktor resiko yang dapat dikontrol
a.       Hipertensi. Hipertensi menyebabkan aterosklerosis pembuluh darah serebral sehingga lama-kelamaan akan pecah dan menimbulkan perdarahan.
b.      Diabetes Mellitus. Pada penyakit DM terjadi gangguan vaskuler, sehingga terjadi hambatan dalam aliran darah ke otak.
c.       Peningkatan kolesterol. Kolesterol dalam tubuh menyebabkan aterosklerosis dan terbentuknya lemak sehingga aliran darah lambat.
d.      Obesitas. Pada obesitas kadar kolesterol darah meningkat dan terjadi hipertensi.
e.       Merokok dan alkohol. Rokok dapat menimbulkan plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga terjadi aterosklerosis. Pada alkoholik dapat mengalami hipertensi, penurunan darah ke otak dan kardiak aritmia.
f.       Penyakit jantung. Fibrilasi atrium menyebabkan penurunan kardiac output, sehingga terjadi gangguan perfusi serebral.
g.      Polisitemia. Kadar Hb yang tinggi (Hb lebih dari 16 mg/dl) menyebabkan darah menjadi lebih kental dengan demikian aliran darah ke otak lebih lambat.
         (Mansjoer, 2001; Smeltzer & Bare, 2002; Tarwoto, 2007)

IV.       Klasifikasi
1.      Berdasarkan klinik
a.       Stroke Hemoragik (SH)
Terjadi perdarahan serebral dan mungkin juga perdarahan subaraknoid yang disebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Biasanya terjadi pada saat pasien melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat, kesadaran pasien umunya menurun.
Pada stroke hemoragik, pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya. Hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita hipertensi.
Menurut WHO, dalam International Statistical Classification Of Disease and Related Health Problem 10th Revision, stroke hemoragik dibagi atas:
1)      Perdarahan Intraserebral (PIS)
PIS adalah perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan oleh trauma. PIS secara klinik dibagi atas:
a)      Akut, dengan cepat memburuk dalam 24 jam.
b)      Subakut, dengan krisi terjadi antara 3 dan 7 hari.
c)      Subkronis, bila krisinya 7 hari.
Penyebab PIS terbanyak karena hipertensi, dan faktor lainnya dalah aneurisma kriptogenik, diskrasia darah, hemophilia, leukemia, trombositopenia, pemakaian antikoagulan dalam jangka lama, malformasi arteriolavenosa dan tumor otak.         

2)      Perdarahan subaraknoid (PSA)
PSA adalah keadaan terdapatnya atau masuknya darah keruangan subaraknoid. PSA dibagi atas:
a)      PSA spontan primer, bukan karena trauma atau PIS.
b)      PSA sekunder, adalah perdarahan yang berasal dari luar subaraknoid misalnnya dari PIS dan tumor otak.        
b.      Stroke non hemoragik (SNH)
Dapat berupa iskemia, emboli, spasme ataupun trombus pembuluh darah otak.   Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau bangun tidur. Tidak terjadi perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena hipoksia jaringan otak. Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah.
(Muttaqin, 2008)
2.      Berdasarkan perjalanan penyakit
a.       TIA (transient iskemik attack)
Merupakan gangguan neurologi fokal yang timbul secara tiba-tiba dan menghilang dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Gejala yang muncul akan hilang secara spontan dalam waktu kurang dari 24 jam.
b.      Stroke involution (progresif)
Perkembangan stroke terjadi perlahan-lahan sampai akut, munculnya gejala mungkin memburuk. Proses progresif beberapa jam sampai beberapa hari.
c.       Stroke complete (stroke lengkap)
Gangguan neurologik yang timbul sedah menetap atau permanen, maksimal sejak awal serangan dan sedikit memperlihatkan perbaikan.
(Tarwoto, 2007)

V.          Patofisiologi
Iskemia disebabkan oleh adanya penyumbatan aliran darah otak oleh trombus atau embolus. Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah, sehingga arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area thrombus menjadi berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi kompleks iskemia akhirnya terjadi infark pada jaringan otak. Emboli disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri karotis. Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologist fokal. Perdarahan otak dapat ddisebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.
Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau ruangan subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intracranial yang seharusnya konstan. Adanya perubahan komponen intracranial yang tidak dapat dikompensasi tubuh akan menimbulkan peningkatan TIK yang bila berlanjut akan menyebabkan herniasi otak sehingga timbul kematian. Di samping itu, darah yang mengalir ke substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.
(Smeltzer & Bare, 2002)
VI.        Manifestasi Klinis
1.      Stroke Non Hemoragik
a.       Defisit neurologis secara mendadak/ sub akut.
b.      Terjadinya pada waktu istirahat/ bangun pagi.
c.       Kesadaran tidak menurun, tetapi bila emboli cukup besar dapat menurunkan kesadaran.
d.      Biasanya terjadi pada usia > 50 tahun.
2.      Stroke Hemoragik
a.       Perdarahan intraserebral (PIS)
1)      Nyeri kepala karena hipertensi, hebat sekali.
2)      Sering kali siang hari, saat aktivitas, emosi / marah.
3)      Mual, muntah permulaan serangan.
4)      Hemiparesis/ hemiplegi terjadi sejak permulaan serangan.
5)      Kesadaran menurun, cepat koma.
b.      Perdarahan subaraknoid (PSA)
1)      Nyeri kepala hebat dan akut.
2)      Kesadaran sering terganggu dan sangat bervariasi.
3)      Ada gejala tanda ransangan meningeal.
4)      Edema papil

Manifestasi klinis stroke akut :
1.      Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah (hemiparesis) yang timbul mendadak.
2.      Gangguan  sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan.
3.      Penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stupor atau koma).
4.      Afasia (kesulitan dalam bicara).
5.      Disatria (bicara pelo atau cadel)
6.      Gangguan penglihatan (hemianopia/ monokuler) diplopia
7.      Ataksia.
8.      Vertigo, mual, muntah dan nyeri kepala
(Muttaqin, 2008; Tarwoto, 2007)


VII.    Komplikasi
1.      Hipoksia serebral
2.      Perubahan aliran darah serebral
3.      Embolisme serebral
           (Smeltzer & Bare, 2002)

VIII. Pemeriksaan Fisik
1.      Keadaan umum
a.       Kesadaran: umumnya mengalami penurunan kesadaran.
b.      Bicara: kadang mengalami gangguan yaitu sulit dimengerti, kadang tidak bisa bicara.
c.       Tanda-tanda vital: tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi.
2.      Pemeriksaan integumen
a.       Kulit: jika klien kekurangan oksigen kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan jelek. Di samping itu perlu juga di kaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol.
b.      Kuku: perlu dilihat adanya clubbing finger, sianosis.
3.      Pemeriksaan kepala dan leher
a.       Kepala: bentuk normocephalik
b.      Muka: umunya tidak simetris yaitu miring ke salah satu sisi.
c.       Leher: kaku kuduk jarang terjadi.
4.      Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat penurunan reflek batuk dan menelan.
5.      Pemeriksaan abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan kadang terdapat kembung.
6.      Pemeriksaan ektremitas: sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
7.      Pemeriksaan neurologi
a.       Pemeriksaan nervus cranialis: umunya terdapat gangguan nervus cranialis VII dan XII.
b.      Pemeriksaan motorik: hampir selalu terjadi kelumpuhan atau kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
c.       Pemeriksaan sensorik : dapat terjadi kehilangan sensasi
d.      Pemeriksaan refleks: pada fase akut refleks fisiologi sisi yang lumpuh akan menghilang.
8.      Pemeriksaan fungsi bladder dan bowel: dapat terjadi inkontinensia atau retensio urine
(Tarwoto, 2007)

IX.       Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik
1.        Angiografi serebral:    Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti  perdarahan, obstruksi arteri atau adanya titik okslusi/ ruptur.
2.        CT Scan: memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia dan infark
3.        Fungsi lumbal:   Menunjukkan adanya tekanan normal, trombosis, embolis serebral dan TIA, jika protein meningkat adanya proses inflamasi
4.        MRI: menunjukkan adanya infark, hemoragik, malformasi arterio vena (MAV)
5.        Utrasonografi Doppler: Mengidentifikasi penyakit arteriovena, aliran darah atau muncul plak (ateriosklerosis).
6.        EEG:   Mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan mungkin adanya lesi yang spesifik
7.        Sinar X tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjer lempeng peneal daerah yang berlawan dari massa yang luas.
                                                                                                              (Doenges, 1999)

X.          Penatalaksanaan
1.      Penatalaksanaan umum
a.       Pada fase akut (48-72 jam)
1)      Pertahankan jalan nafas, pemberian oksigen, penggunaan ventilator.
2)      Monitor peningkatan tekanan intrakranial.
3)      Monitor fungsi pernafasan: AGD
4)      Monitor jantung dan tanda-tanda vital, pemeriksaan EKG.
5)      Evaluasi status cairan dan elektrolit.
6)      Kontrol kejang jika ada dengan pemberian antikonvulsan dan cegah resiko injuri.
7)      Lakukan pemasangan NGT untuk mengurangi kompresi lambung dan pemberian makanan.
8)      Cegah emboli paru dan tromboplebitis dengan antikoagulan.
9)      Monitor tanda-tanda neurologi seperti tingkat kesadaran, keadaan pupil, fungsi sensorik dan motorik, nervus kranial dan refleks.
b.      Fase rehabilitasi
1)      Pertahankan nutrisi yang adekuat.
2)      Program managemen bladder dan bowel.
3)      Mempertahankan keseimbangan tubuh dan rentang gerak sendi (ROM).
4)      Pertahankan integritas kulit.
5)      Pertahankan komunikasi yang efektif.
6)      Pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
7)      Persiapan pasien pulang.
2.      Pembedahan
Dilakukan jika perdarahan serebrum diameter lebih dari 3 cm atau volume lebih dari 50 ml untuk dekompresi atau pemasangan pintasan ventrikulo-peritoneal bila ada hidrosefalus obstruksi akut.
3.      Terapi obat-obatan
a.       Stroke non hemoragik
1)      Pemberian trombolisis dengan rt-PA (recombinant tissue-plasminogen).
2)      Pemberian obat-obatan jantung seperti digoksin pada aritmia jantung atau alfa beta, katopril, antagonis kalsium pada pasien dengan hipertensi.
b.      Stroke hemoragik
1)      Antihipertensi: katopril, antagonis kalsium.
2)      Diuretik: Manitol 20%, furosemid.
3)      Antikonvulsan: Fenitoin.
(Tarwoto, 2007)

XI.       Pengkajian
1.      Aktifitas/ Istirahat
Gejala :  Merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan, kehilangan sensasi atau paralisis.
               Merasa mudah lelah, susah untuk beristirahat (nyeri/kejang otot)
Tanda  : Gangguan tonus otot dan terjadi kelemahan umum
               Gangguan penglihatan.
               Gangguan tingkat kesadaran.
2.      Sirkulasi
Gejala :  Adanya penyakit jantung, polisitemia
Tanda  :  Hipertensi arterial sehubungan dengan adanya embolisme atau malfomasi vaskuler.
               Nadi: frekuensi bervariasi
               Disritmia, perubahan EKG
               Desiran pada karotis, femoralis yang abnormal.
3.      Integritas Ego
Gejala : Perasaan tidakberdaya, perasaan putus asa.
Tanda  : Emosi yang labil dan kesulitan untuk mengekspresikan diri.
4.      Makanan/ cairan
Gejala  :  Nafsu makan hilang.
               Mual muntah selama fase akut.
               Kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi, tenggorok, disfagia.   
Tanda  : Kesulitan menelan
5.      Neurosensori
Gejala :  Sinkope/ pusing
               Sakit kepala
               Kelemahan/ kesemutan/ kebas
               Hilangnya rangsang sensorik kontralateral (pada sisi yang berlawanan) pada ekstremitas dan kadang-kadang pada wajah.
Tanda  : Status mental/ tingkat kesadaran: biasanya terjadi koma pada fase awal hemoragik, kelemahan pada ektremitas, gangguan fungsi kognitif
               Pada wajah terjadi paralysis
               Afasia
               Kehilangan kemampuan untuk menggunakan motorik
               Kejang
6.      Nyeri/ Kenyamanan
Gejala  : Sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda.
Tanda  : Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah
7.      Pernafasan
Gejala  : Merokok
Tanda  : Ketidakmampuan menelan/ batuk/ hambatan jalan nafas.
               Suara nafas terdengar/ ronkhi
               Timbulnya pernafasan sulit.
(Doenges, 1999)

XII.    Diagnosa dan Intervensi
1.      Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan gangguan aliran darah, oklusi, hemoragi, vasospasme serebral, edema serebral.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan perfusi jaringan serebral kembali normal.
Intervensi:
a.       Kaji status neurologik.
Rasional: Menentukan perubahan defisit neurologik lebih lanjut.
b.      Kaji tingkat kesadaran dengan GCS.
Rasional: Tingkat kesadaran merupakan indikator terbaik adanya perubahan neurologis.
c.       Kaji pupil, ukuran, respon terhadap cahaya, gerakan mata.
Rasional: Mengetahui fungsi nervus II dan III.
d.      Kaji refleks kornea dan refleks gag.
Rasional: Menurunnya refleks kornea dan refleks gaga indikasi kerusakan pada batang otak.
e.       Evaluasi keadaan motorik dan sensori pasien.
Rasional: Gangguan motorik dan sensorik dapat terjadi akibat edema otak.
f.       Monitor tanda vital setiap 1 jam.
Rasional: Adanya perubahan tanda vital seperti respirasi dan bradikardia menunjukkan kerusakan pada batang otak.
g.      Pertahankan pasien bedrest, berikan lingkungan tenang, batasi pengunjung, atur waktu istirahat dan aktivitas.
Rasional: Istirahat yang cukup dan lingkungan yang tenang mencegah perdaharan kembali.
h.      Pertahankan kepala tempat tidur 30-45 derajat dengan posisi leher tidak menekuk.
Rasional: Memfasilitasi drainase vena dari otak.
i.        Anjurkan pasien untuk tidak mengedan saat defikasi, batuk dan bersin yang kuat.
Rasional: Dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
j.        Pertahankan suhu normal.
Rasional: Suhu tubuh yang meningkat akan meningkatkan aliran darah ke otak sehingga meningkatkan TIK.
k.      Monitor kejang dan berikan obat anti kejang.
Rasional: Kejang dapat terjadi akibat iritasi serebral dan keadaan kejang memerlukan banyak oksigen.
l.        Lakukan aktivitas seminimal mungkin.
Rasional: Menimbulkan stimulus sehingga menurunkan TIK.
m.    Berikan obat sesuai program dan monitor efek samping.
Rasional: Memperbaiki kondisi.

2.      Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler, kelemahan, parestesia, paralysis.
Tujuan :  Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan gangguan mobilitas fisik dapat teratasi.
Intervensi:
a.       Kaji kemampuan motorik.
Rasional: Mengidentifikasi kekuatan otot, kelemahan motorik
b.      Ajarkan pasien untuk melakukan ROM minimal 4 kali/hari.
Rasional: Latihan ROM meningkatkan masa tonus, kekuatan otot, fungsi jantung dan pernapasan.
c.       Lakukan tindakan untuk meluruskan postur tubuh: ubah posisi sendi bahu setiap 2-4 jam, gunakan papan kaki, sanggah tangan dan pergelangan tangan pada kelurusan alamiah.
Rasional: Mencegah kontraktur fleksi bahu, mencegah footdrop, mencegah edema dan kotraktur fleksi pada pergelangan.
d.      Observasi daerah yang tertekan, termasuk warna, edema, atau tanda lain gangguan sirkulasi.
Rasional: Mencegah luka dekubitus.
e.       Lakukan mesase pada daerah tertekan.
Rasional: Membantu memperlancar sirkulasi darah.
f.       Kolaborasi dengan ahli fisioterapi.
Rasional: Mengembangkan program khusus.

3.      Gangguan perawatan diri: ADL berhubungan dengan defisit neuromuskuler, menurunnya kekuatan otot dan daya tahan, kehilangan kontrol otot, gangguan kognitif.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan perawatan diri dapat terpenuhi
Intervensi:
a.       Kaji kemampuan ADL pasien.
Rasional: Membantu merencakan intervensi.
b.      Anjurkan pasien untuk melakukan sendiri perawatan dirinya jika mampu.
Rasional: Menumbuhkan kemandirian dalam perawatan.
c.       Berikan umpan balik positif atas usaha pasien.
Rasional: Meningkatkan harga diri pasien.
d.      Bantu klien dalam pemenuhan kebutuhan ADL jika tidak mampu.
Rasional: Memenuhi kebutuhan ADL.
e.       Kolaborasi ahli fisioterapi.
Rasional: Mengembangkan program khusus.


4.      Kerusakan komunikasi verbal atau non verbal  berhubungan dengan gangguan sirkulasi, gangguan neuromuskuler, kelemahan umum, kerusakan pada area wernick, kerusakan pada area broca. 
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan komunikasi verbal atau non verbal dapat diatasi.
Intervensi:
a.       Kaji tipe/derajat disfungsi.
Rasional: Membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan serebral yang terjadi.
b.      Bedakan antara afasia dan disartria.
Rasional: Intervensi yang dipilih tergantung pada tipe kerusakannya. Afasia adalah gangguan dalam menggunakan dan menginterpretasikan simbol bahasa. Seseorang dengan disartria mengalami kesulitan membentuk atau mengucapkan kata.
c.       Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik.
Rasional: Pasien mungkin kehilangan kemampuan untuk memantau ucapan yang keluar dan tidak menyadari bahwa komunikasi yang diucapkannya tidak nyata.
d.      Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana (seperti: buka mata dan tunjuk ke pintu) ulangi dengan kata/kalimat sederhana.
Rasional: Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik (afasia sensorik).
e.       Tunjukkan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama benda tersebut.
Rasional: Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motorik (afasia motorik), seperti pasien mungkin mengenalinya tetapi tidak dapat menyebutkannya.
f.       Minta pasien untuk mengucapkan suara sederhana seperti ”sh” atau ”pus”.
Rasional: Mengidentifikasi adanya disartria sesuai komponen motorik dari bicara (seperti lidah, gerakan bibir, kontrol napas).


g.      Minta pasien untuk menulis nama/kalimat pendek, dan membaca kalimat pendek.
Rasional: Menilai kemampuan menulis (agrafia) dan  kekurangan dalam membaca yang benar (aleksia) yang juga merupakan bagian dari afasia sensorik dan afasia motorik.
h.      Anjurkan pengunjung/keluarga terdekat mempertahankan usaha untuk berkomunikasi dengan pasien.
Rasional: Mengurangi isolasi sosial pasien dan meningkatkan penciptaan komunikasi yang efektif.
i.        Diskusikan mengenai hal-hal yang dikenal pasien.
Rasional: Meningkatkan percakapan yang bermakna dan memberikan kesempatan untuk keterampilan praktis.
 (Doenges, 1999; Tarwoto, 2007)

XIII.   Daftar Pustaka
Doenges, M. E. (1999). Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien (Monica Ester, et.al. Terj). Jakarta: EGC. (Naskah asli dipublikasikan tahun 1993).

Mansjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapies.

Muttaqin, A. (2008). Pengantar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persarafan. Jakarta: Salemba Media.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah Brunner & Suddarth (Monica Ester, et.al. Terj). Jakarta: EGC. (Naskah asli dipublikasikan tahun 1996).

Tarwoto (2007). Keperawatan medikal bedah:  gangguan sistem persarafan. Jakarta: Sagung seto.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar